Pontianak, sore itu terasa lengang meski langit agak mendung. Di tepi Sungai Kapuas, sebuah warung kopi sederhana dengan bangku kayu tua jadi tempat berkumpulnya lima orang dengan latar belakang yang beragam namun terhubung oleh satu hal: dunia konstruksi dan tanah.
Mereka adalah Fadli, Bram, Fitri, Dimas, dan Bagas.
===
Fadli, 35 tahun, seorang konsultan teknik sipil dengan pengalaman 10 tahun lebih di berbagai proyek perumahan dan infrastruktur di Kalimantan Barat. Ia dikenal sebagai orang yang suka humor receh, tapi serius soal struktur bangunan.
===
Bram, 32 tahun, arsitek idealis jebolan kampus seni rupa di Bandung. Ia baru pulang kampung ke Pontianak untuk mengejar proyek impian: membangun kafe minimalis berpadu nuansa lokal di pinggiran kota.
===
Fitri, 29 tahun, perempuan tangguh yang bekerja sebagai surveyor lapangan di Dinas Pekerjaan Umum. Ia sering turun ke lokasi proyek, terbiasa berjibaku dengan cuaca dan lumpur. Sosoknya ramah dan ceplas-ceplos, tapi punya penguasaan teknis mumpuni.
===
Dimas, 23 tahun, mahasiswa tingkat akhir Teknik Geologi yang sedang magang di Dinas PU bersama Fitri. Ia masih kerap terpesona oleh istilah-istilah dunia lapangan yang baru dikenalnya, tapi semangat belajarnya tinggi.
===
Dan terakhir, Bagas, 37 tahun, perwakilan dari PT Anggarda Paramita Enginering, perusahaan penyedia jasa survei dan uji tanah, termasuk Teknik Sondir Tanah Modern. Ia terlihat tenang, berpenampilan sederhana, dan komunikatif—pas sekali untuk menjelaskan hal teknis secara ringan.
===
Obrolan mereka dimulai ketika pisang goreng hangat datang bersama kopi hitam kental.